Innovation Camp 2025 – Day 1
Innovation Camp Hari ke 1 – Sesi seminar dari 4 narasumber
Pada sesi pertama para finalis mendengarkan seminar dengan speaker Bapak Dr. Nyoman Artha sebagai profesional dibidang Research & Innovation khususnya dalam Food Technology. Bapak Nyoman berbagi pengalaman tentang peluncuran produk dan tantangan yang dihadapi, seperti produk teh madu yang langsung dibeli habis oleh kompetitor dan recall 18 juta liter teh manis karena masalah sedimen. Beliau juga menyoroti pentingnya regulasi, seperti kasus di Jepang yang ketat untuk produk oral. Beliau menekankan bahwa pasar adalah raja dan produk bagus sekalipun tidak akan laku jika tidak tersedia atau tidak mengikuti regulasi.
Data pasar, terutama data demografi Muslim di Indonesia yang besar, serta tren gaya hidup seperti Gen Z dan Alpha yang mulai mengonsumsi kopi dan produk wellness, harus menjadi fokus pengembangan produk. Ia juga mengingatkan agar para peneliti berhati-hati dalam riset klinis dan tidak melawan “takdir” pasar dengan membuat produk yang tidak sesuai selera konsumen umum. Terakhir, Bapak Nyoman menyebutkan pentingnya produk lokal Islami dan menghindari merek yang diboikot, serta menyarankan agar pengembangan produk dimulai dari pemahaman pasar dan tujuan yang jelas.
Bapak Nyoman menyimpulkan bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Beliau juga menekankan pentingnya riset dan pemahaman pasar sebelum meluncurkan produk, regulasi yang jelas dan data yang akurat sangat dibutuhkan untuk pengembangan produk yang sukses. Inovasi yang dilakukan juga harus selaras dengan tren global dan preferensi konsumen yang terus berubah dan yang terakhir yaitu produk harus didesain untuk memenuhi kebutuhan wellness dan sustainability yang semakin dicari oleh Gen Z dan milenial.
Sesi kedua dibawakan oleh Prof. Firdaus Alamsjah, Ph.D. sebagai BINUS Creates Director mengenai Innovation to Commercialization. Diskusi yang dipandu Prof. Firdaus berfokus pada pentingnya inovasi, dengan titik awal pada ide-ide yang lahir dari dalam diri individu dan diperkuat melalui eksperimen. Kreativitas dianggap sebagai pondasi utama, sementara customer value proposition dan pengamatan terhadap keterampilan masyarakat menjadi penentu apakah suatu inovasi memiliki nilai nyata. Proses ini tidak hanya menuntut kesiapan teknologi dan penelitian dasar, tetapi juga harus menghasilkan produk yang unik agar mampu bersaing di pasar.
Selain aspek teknis, dinamika pasar dan dorongan berbasis kebutuhan konsumen menjadi faktor krusial dalam perjalanan inovasi. Peran institusi pendidikan, seperti School of Information System, diakui penting dalam menciptakan produk teknologi yang dapat dikomersialisasikan yaitu Sokrates. Para pembicara juga menekankan perlunya perbaikan berkelanjutan, dukungan komersial, serta strategi untuk meminimalkan risiko kegagalan. Hal ini menegaskan bahwa inovasi tidak bisa dilepaskan dari keterhubungan dengan pasar dan sistem pendukung yang solid.
Pada akhirnya, isu komersialisasi, skalabilitas, serta insentif fiskal menjadi perhatian utama dalam mendorong keberhasilan inovasi di Indonesia. Produk teknologi perlu diuji kelayakan pasarnya, diperkuat dengan pembelajaran bisnis, dan dikembangkan agar dapat diterima konsumen secara luas. Dengan pendekatan yang menggabungkan kreativitas individu, kesiapan teknologi, dan dorongan pasar, inovasi berpeluang tumbuh menjadi kekuatan nyata yang mendorong daya saing nasional.
Sesi ketiga dibawakan oleh Prof. Dr. Elidjen, S.Kom., MInfoCommTech., CIP., CKM. Sebagai Knowledge Management & Innovation Director mengenai Innovation Ambidextrity. Seminar ini menyoroti pentingnya inovasi sebagai fondasi daya saing organisasi di era global. Pemateri membuka dengan menegaskan bahwa BINUS University berhasil meraih penghargaan Most Innovative Knowledge Enterprise (MIKE Award) tujuh kali berturut-turut, sebuah pencapaian langka di tingkat dunia. Hal ini menjadi bukti bahwa pengelolaan pengetahuan dan budaya inovasi dapat mengangkat reputasi institusi ke level internasional.
Namun, ketika melihat kondisi Indonesia secara umum, posisi kita terlihat dalam Global Innovation Index dan World Competitiveness Ranking masih relatif tertinggal dibanding negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Padahal, Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Fakta ini menunjukkan bahwa land, labor, dan natural resources saja tidak cukup untuk menciptakan kemakmuran. Justru, perusahaan-perusahaan besar dunia tumbuh karena mengandalkan intangible assets seperti kreativitas, inovasi, teknologi, dan brand value.
Contoh nyata bisa dilihat pada perusahaan global seperti Tesla, Microsoft, atau bahkan brand fashion mewah Louis Vuitton, yang menghasilkan nilai luar biasa bukan dari sumber daya alam, melainkan dari inovasi, diferensiasi, dan kekuatan merek. Bahkan di lingkup lokal, inovasi sederhana seperti aplikasi koreksi ujian otomatis di BINUS mampu menciptakan dampak besar dalam hal efisiensi dan konsistensi.
Di sinilah konsep innovation ambidexterity menjadi penting. Organisasi yang ingin bertahan dan berkembang tidak bisa hanya fokus pada satu sisi. Mereka harus mampu menyeimbangkan eksploitasi—memaksimalkan potensi dan sumber daya yang sudah ada—dengan eksplorasi, yaitu menciptakan ide-ide, produk, atau cara kerja baru yang berpotensi disruptif. Keseimbangan ini yang membuat organisasi tetap relevan di tengah perubahan. Seminar ini juga menegaskan bahwa dunia sedang mengalami pergeseran besar: dari ekonomi agraria ke industri, lalu kini menuju knowledge economy. Dalam ekonomi baru ini, yang paling bernilai bukan lagi sumber daya fisik, melainkan pengetahuan, kreativitas, dan inovasi. Oleh karena itu, Indonesia harus berani berinvestasi pada intangible capital—terutama pada manusia, teknologi, dan budaya inovasi—agar mampu bersaing di tingkat global.
Sesi keempat dibawakan oleh Chandra Herawan dari Cisco Indonesia membahas bagaimana AI mengubah segalanya, namun hasil yang muncul sangat bergantung pada kualitas data. Ia mencontohkan kasus penggunaan ChatGPT untuk pembuatan itinerary visa Norwegia yang berujung penolakan karena jadwal perjalanan tidak realistis. Dari sini ditegaskan bahwa AI hanya akan menghasilkan jawaban benar jika datanya benar. Oleh sebab itu, memahami sumber data, tujuan penggunaan, dan konteks menjadi hal yang krusial.
Cisco sendiri sudah lebih dari 20 tahun menerapkan AI di lingkungannya, dengan prinsip bahwa teknologi harus diuji dulu secara internal sebelum diberikan kepada pelanggan. Mereka melihat AI sebagai sarana untuk “Connect and Protect”, yakni menghubungkan orang sekaligus menjaga keamanan digital. Contoh penerapannya antara lain Cisco AI Assistant for Webex yang mampu membantu meeting, chat, telepon, hingga contact center dengan dukungan audio, video, dan language intelligence. Hal ini memperlihatkan bahwa AI tidak sekadar otomasi, tetapi fondasi bagi pengalaman kerja yang lebih efisien dan bermakna.
Dalam sesi diskusi, Chandra menekankan bahwa manfaat AI memang besar, tetapi investasi yang dibutuhkan juga signifikan. AI di Cisco dikembangkan sesuai kebutuhan bisnis dengan dukungan data dari institusi keamanan global maupun data pelanggan yang diizinkan. Ia menutup dengan pesan bahwa nilai AI bukan hanya pada modelnya, tetapi pada knowledge dan data yang dimilikinya, sehingga organisasi perlu bijak dalam memilih apakah membangun sendiri atau memanfaatkan solusi yang sudah ada.